A. Sejarah Masuknya Islam di Sulawesi
Ribuan
pulau yang ada di Indonesia, sejak lama telah menjalin hubungan dari pulau ke
pulau. Baik atas motivasi ekonomi maupun motivasi politik dan kepentingan
kerajaan. Hubungan ini pula yang mengantar dakwah menembus dan merambah Celebes
atau Sulawesi. Menurut catatan company dagang Portugis yang datang pada tahun
1540 saat datang ke Sulawesi, di tanah ini sudah bisa ditemui pemukiman Muslim
di beberapa daerah. Meski belum terlalu besar, namun jalan dakwah terus
berlanjut hingga menyentuh raja-raja di Kerajaan Goa yang beribu negeri di
Makassar.
Raja Goa
pertama yang memeluk Islam adalah Sultan Alaudin al Awwal dan Perdana Menteri
atau Wazir besarnya, Karaeng Matopa pada tahun 1603. Sebelumnya, dakwah Islam
telah sampai pula pada ayahanda Sultan Alaudin yang bernama Tonigallo dari
Sultan Ternate yang lebih dulu memeluk Islam. Namun Tonigallo khawatir jika ia
memeluk Islam, ia merasa kerajaannya akan di bawah pengaruh kerajaan Ternate.
Beberapa
ulama Kerajaan Goa di masa Sultan Alaudin begitu terkenal karena pemahaman dan
aktivitas dakwah mereka. Mereka adalah Khatib Tunggal, Datuk ri Bandang, datuk
Patimang dan Datuk ri Tiro. Dapat diketahui dan dilacak dari nama para ulama di
atas, yang bergelar datuk-datuk adalah para ulama dan mubaligh asal Minangkabau
yang menyebarkan Islam ke Makassar.
Pusat-pusat
dakwah yang dibangun oleh Kerajaan Goa inilah yang melanjutkan perjalanan ke
wilayah lain sampai ke Kerajaan Bugis, Wajo Sopeng, Sidenreng, Tanette, Luwu dan
Paloppo.
B. Kerajaan-Kerajaan Islam di Sulawesi
A. Kerajaan Gowa-Tallo
Pada awalnya, Kerajaan Gowa-Tallo yang lebih
dikenal sebagai Kerajaan Makassar terdiri dari beberapa kerajaan yang bercorak
Hindu, antara lain, Gowa, Tallo, Wajo, Bone, Soppeng, dan Luwu. Dengan adanya
dakwah dari Dato' ri Bandang dan Dato' Sulaiman, Sultan Alauddin (Raja Gowa)
masuk Islam. Setelah raja memeluk Islam, rakyat pun segera ikut memeluk Islam.
Kerajaan Gowa dan Tallo kemudian menjadi satu dan
lebih dikenal dengan nama Kerajaan Makassar dengan pemerintahannya yang
terkenal adalah Sultan Hasanuddin (1653-1669). Ia berhasil memperluas pengaruh
Kerajaan Makassar sampai ke Matos, Bulukamba, Mondar, Sulawesi Utara, Luwu,
Butan, Selayar, Sumbawa, dan Lombok.
Hasanuddin juga berhasil mengembangkan pelabuhannya
dan menjadi bandar transit di Indonesia bagian timur pada waktu itu. Hasanuddin
mendapat julukan “Ayam Jantan dari Timur”. Karena keberaniannya dan semangat perjuangannya, Makassar menjadi kerajaan besar dan berpengaruh terhadap kerajaan di
sekitarnya.
Faktor-faktor penyebab Kerajaan Makassar menjadi
besar:
ü
Letaknya
strategis, baik sekali untuk pelabuhan
ü
Jatuhnya
Malaka ke tangan Portugis yang menyebabkan pedagang Islam pindah ke Makassar.
Perkembangan
Makassar menyebabkan VOC merasa tersaingi. Makassar tidak tunduk kepada VOC,
bahkan Makassar membantu rakyat Maluku melawan VOC. Kondisi ini mendorong VOC
untuk berkuasa di Makassar dengan menjalin kerjasama dengan Makassar, tetapi ditolak oleh Hasanuddin. Oleh karena itu,
VOC menyerang Makassar dengan membantu Aru Palaka yang telah bermusuhan dengan
Makassar. Akibatnya, banteng Borombong dan ibu kota Sombaopu jatuh ke tangan
musuh, Hasanuddin ditangkap dan dipaksa menandatangani
Perjanjian Bongaya (1667).
Isi
Perjanjian Bongaya:
1.
VOC memperolehhakmonopoli
di Makassar
2.
VOC diizinkan
mendirikan benteng di Makassar
3.
Makassar
harus melepaskan jajahan seperti Bone
4.
Semua bangsa asing
diusir dari Makassar, kecuali VOC
5.
Kerajaan
Makassar diperkecil hanya tinggal Gowa saja
6.
Makassar
membayar semua utang perang
7.
Aru Palaka diakui
sebagai Raja Bone.
Akibat kekalahannya, peranan Makassar sebagai penguasa pelayaran dan perdagangan
berakhir. Sebaliknya, VOC memperoleh tempat yang strategis di Indonesia bagian timur.
Rakyat Makassar yang tidak mau menerima Perjanjian Bongaya, seperti Kraeng Galesung
dan Monte Merano, melarikan diri ke Mataram.
Selanjutnya, untuk memperlemah Makassar, banteng Sombaopu dihancurkan oleh Speelman
dan benteng Ujung Pandang dikuasai VOC diganti nama menjadi benteng Ford
Roterdam.
Dalam bidang kebudayaan, Makassar sebagai kerajaan yang
bersifat maritim sedikit meninggalkan hasil-hasil budaya. Peninggalan budaya
Makassar yang menonjol adalah perahu pinisi, lambo, dan bercadik. Dalam bidang
sastra, diperkirakan sudah lahir beberapa karya sastra. Hanya saja, karya-karya
tersebut tidak sampai ke kita. Tetapi pada saat itu sudah ada sebuah buku
tentang hukum laut dan perniagaan, yaitu Ade' Allopiloping Bicaranna
Pabbalu'e dan naskah lontar karya Amanna Gappa.
Birokrasi Pemerintahan Makassar Di Sulawesi, ditemukan buku kronik, antara lain, Lontara (himpunan cerita yang memuat silsilah raja-raja Gowa, Bone, Wajo, Luwu, dan sebagainya), Sanggala (himpunan cerita yang memuat silsilah raja-raja Toraja), dan I La Galigo (himpunan cerita yang memuat silsilah raja-raja Bugis).
Birokrasi Pemerintahan Makassar Di Sulawesi, ditemukan buku kronik, antara lain, Lontara (himpunan cerita yang memuat silsilah raja-raja Gowa, Bone, Wajo, Luwu, dan sebagainya), Sanggala (himpunan cerita yang memuat silsilah raja-raja Toraja), dan I La Galigo (himpunan cerita yang memuat silsilah raja-raja Bugis).
Dari sekian banyak kerajaan di Sulawesi Selatan, ada tiga
kerajaan besar, yaitu:
1.
Kerajaan
Gowa, rajanya disebut Sombaya ri Gowa (yang disembah di Gowa)
2.
Kerajaan
Luwu, rajanya disebut Pajunge ri Luwu atau Mapajunge ri Luwu
3.
Kerajaan
Bone, rajanya disebut Mangkau'E ri Bone (yang bertakhta di Bone).
Setelah raja-raja Makassar masuk Islam, mereka bergelar
sultan. Dalam menjalankan pemerintahannya, raja dibantu oleh suatu dewan yang
disebut Kasuwiyang Salapanga (pangabdi sembilan), kemudian diubah menjadi Bate
Salapanga (bendera sembilan). Sebagai pembantu raja yang menjalankan
undang-undang pemerintahan, majelis diawasi oleh seorang pemimpin yang disebut
Paccalaya (hakim).
Setelah raja, jabatan tertinggi di bawahnya adalah
Pabbicarabutta yang dibantu oleh Tumailalang Matowa dan Tumailalang Malolo.
Tumailalang Matowa bertugas sebagai pegawai tinggi yang menyampaikan perintah
raja kepada majelis Bate Salapanga. Adapun Tumailalang Malolo adalah pegawai
tinggi urusan istana. Panglima yang memimpin tentara dalam perang disebut
Anrong Guru Lompona Tumakjannangang. Mereka bergelar Karaeng atau Gallareng.
Ada
lagi jabatan yang disebut Opu Bali Ranten, yaitu bendahara kerajaan. Selain
sebagai bendahara, ia juga mengurus masalah perdagangan dan hubungan ke luar.
Bidang agama diurus oleh seorang kadhi yang dibantu oleh imam, khatib, dan
bilal.
Raja-raja KerajaanGowaTallo :
2.
Tumassalangga Baraya
3.
Puang Loe Lembang
4.
I Tuniatabanri
5.
Karampang ri Gowa
7.
Batara Gowa Tuminanga ri Paralakkenna
8.
Pakere Tau Tunijallo ri Passukki
9.
Daeng Matanre Karaeng Tumapa' ri si'
Kallonna (awalabad ke-16)
11. I
Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatte
14. I
Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tuminangari Gaukanna
Berkuasa mula itahun 1593 – wafat tanggal 15 Juni 1639. Merupakan penguasa Gowa pertama yang memeluk agama Islam.
Berkuasa mula itahun 1593 – wafat tanggal 15 Juni 1639. Merupakan penguasa Gowa pertama yang memeluk agama Islam.
15. I
Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Malikussaid Tuminangari Papang
Batuna. Lahir11 Desember1605,
berkuasa mulai tahun
1639
hingga wafatnya 6 November 1653
16. I
Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tuminangari
Balla'pangkana. Lahir tanggal 12
Juni
1631,
berkuasa mulai tahun 1653
sampai 1669,
dan wafat pada 12 Juni 1670
17. I
Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah Tuminangari Allu'
Lahir 31 Maret 1656, berkuasa mulai tahun 1669 hingga 1674, dan wafat 7 Mei 1681
Lahir 31 Maret 1656, berkuasa mulai tahun 1669 hingga 1674, dan wafat 7 Mei 1681
18. I
Mallawakkang Daeng Mattinri Karaeng Kanjilo Tuminangari Passiringanna
19. Sultan
Mohammad Ali (Karaeng Bisei) Tumenangari Jakattara
Lahir 29 November 1654, berkuasa mulai 1674 sampai 1677, dan wafat 15 Agustus1681
Lahir 29 November 1654, berkuasa mulai 1674 sampai 1677, dan wafat 15 Agustus1681
20. I
Mappadulu Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Jalil Tuminangari Lakiyung.
(1677-1709)
22. I
Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminangri Pasi
23. I
Manrabbia Sultan Najamuddin
33. I
Kumala Karaeng Lembang Parang Sultan Abdul Kadir Moh Aidid Tuminangari Kakuasanna
(1826
- wafat30 Januari1893)
34. I
Malingkaan Daeng Nyonri Karaeng Katangka Sultan Idris Tuminangari Kalabbiranna
(1893-
wafat18
Mei1895)
35. I
Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan Husain Tuminangri Bundu'na. Memerintah
sejak tanggal 18
Mei
1895,
dimahkotai di Makassar
pada tanggal 5 Desember 1895.
Ia melakukan perlawanan terhadap Hindia
Belanda pada tanggal 19
Oktober 1905
dan diberhentikan dengan paksa oleh Hindia
Belanda pada 13
April 1906.
Ia meninggal akibat jatuh di Bundukma, dekat Enrekang pada tanggal 25
Desember 1906.
36. I
Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bonto Nompo Sultan Muhammad Tahur Muhibuddin Tuminangari
Sungguminasa (1936-1946)
37. Andi
Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin
(1946-1960) merupakan Raja Gowa terakhir, meninggal di Jongaya pada tahun 1978.
B. Kerajaan Bone
Asal Usul Kerajaan Bone
Tanah Bone adalah gabungan dari unit-unit politik inti atau
persekutuan masyarakat kaum yang disebut anang yang dipimpin oleh matoa anang
(ketua kaum). Selanjutnya anang terbentuk menjadi wanua (negeri), seperti wanua
Ujung, Tibojong, Ta’, Tanete Riattang, Tanete Riawa, Ponceng, dan Macege.
Setiap pembentukan kelompok wanua didorong oleh ikatan rasa seketurunan dari
satu nenek moyang yang sama dan membentuk persekutuan teritorial yang tertutup
terhadapa persekututan teritorial hidup lainnya dalam sistem kehidupan
patrimonial (garis keturuann dari pihak ayah). Hal seperti itu menciptakan
permusuhan di antara satu wanua dengan wanua lainnya.
Seperti halnya kelahiran Kerajaan Gowa, proses sejarah berdirinya
Kerajaan Bone juga diawali dengan kisah kehadiran Tomanurung. Jika Tomanurung
di Kerajaan Gowa adalah wanita, Tomanurung di Kerajaan Bone adalah laki-laki.
Kehadiran Tomanurung sebagai penguasa sentral di Kerajaan Bone diawali oleh
sebuah ikrar antara Tomanurung dan penguasa unit-unit politik setempat. Sebelum
kehadiran Tomanurung selalu ditandai dengan fenomena alam yang mengerikan.
Tulisan dalam lontarak mengisahkan bahwa sebelum kedatangan Tomanurung, terjadi
hujan dan petir sambung- menyambung tanpa putus selama tujuh hari tujuh malam.
Setelah hujan reda, muncullah seseorang disuatu tempat. Orang tersebut
mengenakan jubah putih dan berdiri ditengah-tengah padang Bone. Oleh karena
mereka tidak mengetahui asal-usulnya; orang menyebutnya Tomanurung (orang yang
turun dari kahyangan).maka berkumpullah orang Bone dan mengadakan perundingan
demi sebuah kesepakatan untuk berangkat menemui orang tersebut dan diangkat
menjadi Raja Bone.
Setelah mereka sampai di hadapan orang tersebut, mereka memohon agar
orang tersebut mau menjadi Raja di Bone. Akan tetapi, orang tersebut menolak
untuk menjadi Raja, karena ia juga hanya seorang budak raja. Tapi orang terbut
menawarkan jika rakyat Bone menginginkan Raja, maka ia bisa membawa mereka
bertemu langsung dengan calon Raja tersebut. Selanjutnya, orang tersebut
membawa mereka pergi ke daerah Matajang. Sesampainya disana, terlihatlah
seorang lelaki duduk berpakaian kuning di batu ”napara” beserta tiga
pengikutnya, yang masing-masing bertugas memang kipas, payung dan membawakan
salendrang (tempat sirih).
Para pemohon dari Bone pun, langsung memohon kepada lelaki yang
duduk di atas batu napara agar kiranya bersedia menjadi Raja di Bone. Maka raja
itu menyahut, “teddua nawa-nawao” artinya “orang setia” dan “temmaballecoko”
artinya tidak memungkiri segala janji”.
Sesudah perjanjian tersebut terlaksana, maka raja tersebutpun
“nalekkeni ManurungE” artinya “memindahkan Manurung itu ke Bone. Dan menjadi
Raja Bone I di sana. Sesampainya di sana, rakyat Bone lalu mendirikan istana
untuk “ManurungE” (raja). Pendirian istana itu lekas selesai dimana “bulisa”
artinya kayu “potongan belum kering”, raja sudah mendiami istana itu.
Proses Awal
Perkembangan Pemerintahan Kerajaan Bone
Raja Bone I atau Arung Pone yaitu Tomanurung ri Matajang, yang
bergelar MatasimpoE. Ia memerintah kurang lebih 40 tahun, dari tahun 1330 M
sampai tahun 1370 M. MatasilompoE kawin dengan Tomanurung ri Toro, yang bernama
Tenriawaru. Dari perkawinan ini lahirlah lima orang anak yang masing-masig
bernama: La Umasa, Patanra Wanua, Tenri Salogo, We Arattiga dan Isamateppa.
Setelah TomanurungE, menjadi penguasa di Bone, barulah ketertiban
dapat ditegakkan dan kesejahteraan rakyat dapat dikembalikan. Ditetapkannya
penguasa Tomanurung di Bone diikuti dengan pembentukan Dewan Penasehat, Ade’pitu
(Adat Penguasa), yang terdiri dari pemimpin dari tujuh komunitas. Dengan
bantuan Ade’pitu, ManurungE lalu membuat peraturan-peraturan bagi rakyatnya. Ia
juga menegakkan hukum dan adat istiadat untuk mengatur ketertiban bagi
masyarakat. Hingga suatu hari Arung Pone –MatasilompoE telah tiada; hilang atau
gaib entah kemana (oleh masyarakat setempat disebut; Mallajang).
Setelah Arung Pone tiada, beliau digantikan oleh La Ummase. Dalam
Lontaraq Akkarungeng ri Bone, La Ummase (1358 – 1424), disebutkan bahwa Dialah
yang menggantikan ManurungE ri Matajang sebagai Arung Mangkaue ri Bone. Beliau
digelari Petta Panre Bessie’ karena Arumpone (Bugis : Raja Bone) inilah yang
mula-mula menciptakan alat dan perkakas dari besi di Bone dan kalau bepergian,
hanya dinaungi dengan kaliyao (tameng) untuk melindunginya dari teriknya
matahari. Hal ini dilakukan karena tidak ada lagi payung (maksudnya : payung
kerajaan) di Bone.
Dalam upayanya memperluas wilayah kekuasaannya, La Ummase’
menaklukkan wilayah – wilayah sekitarnya, Anro Biring, Majang, Biru, Maloi dan
Cellu (Lontara Akkarungeng ri Bone). Politik ekspansinya berhasil menaklukkan
kerajaan kecil tetangganya, “Maloi, Biru, Majang, Anrobiring, Cellu, Palakka
dan Taneteriattang”.
La Ummasa tidak memiliki putra mahkota yang kelak bisa menggantikan
kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone. Dia hanya memiliki anak perempuan, To
Suwalle dan To Sulewakka dari isterinya yang berasal dari to sama’ (orang
biasa, bukan bangsawan). Oleh karena itu, setelah dia tahu bahwa We Pattanra Wanua
akan melahirkan, La Ummasa menyuruh anaknya pergi ke Palakka ke rumah
saudaranya yang diperisterikan oleh Arung Palakka La Pattikkeng.
Setelah La Saliyu Karempuala dewasa, maka beliau mengambil alih
tampuk pemerintahan Bone dari kedua sepupunya itu. Dalam Lontaraq Akkarungeng
ri Bone disebutkan bahwa La Saliyu Karempalua (1424 – 1496) adalah Arumpone
(Raja Bone) yang menggantikan pamannya, La Ummase’.
La Saliyu Karampelua digelari pula MakkaleppiE – Massao LampeE
Lawelareng atau Puatta Lawelareng. Sebagai Raja Bone III ini melanjutkan
kegiatan ekspansi yang telah dirintis pendahulunya, bahkan lebih besar dan
berhasil menduduki kerajaan – kerajaan kecil, seperti : Pallengoreng, Sinri,
Melle, Sancereng, Cirowali, Apala, Bakke, Atta Salo, Soga, Lampoko, Lemoape,
Parippung, Lompu, Limampanua Rilau Ale, Babauwae, Barebbo, Pattiro, Cinennung,
Ureng, Pasempe, Kaju, Ponre, dan Aserabate Riawang Ale.
Data tersebut menunjukkan bahwa Bone pada masa itu telah menguasai
wilayah yang cukup luas (menurut ukuran pada masa itu), sehingga organisasi
pemerintahan perlu pula ditingkatkan. Untuk itu La Saliu membagi wilayah
pemerintahan Kerajaan Bone menjadi tiga wilayah administratif, sesuai dengan
pembagian warna bendera Kerajaan Bone. Pertama,Negeri – negeri yang memakai bendera
Woromporongnge’ : Matajang, Mattoanging, Bukaka Tengah, Kawerrang,
Pallengoreng, Maloi. Semuanya dibawah koordinasi Matoa Matajang. Kedua, Negeri
– negeri yang memakai umbul merah di sebelah kanan Woromporongnge’ : Paccing,
Tanete,. Lemo, Masalle, Macege, Belawa, Semuanya dibawah koordinasi Kajao Ciung
dan Ketiga, Negeri – negeri yang memakai umbul merah di sebelah kiri
Woromporongnge’ : Arasong, Ujung, Ponceng, Ta’, Katumpi, Padaccennga, Madello.
Semuanya dibawah koordinasi Kajao Arasong”. (Lontaraq Akkarungeng ri Bone ;
Kasim, 2002)[5]
Seiring perkembangan Kerajaan Bone, peraturan pertanahan dan hukum
warisan diumumkan secara resmi pada waktu bersamaan untuk menjamin stabilitas
hubungan di dalam komunitas. Setelah genap berusia 72 tahun Arung Pone III
mengumumkan kepada rakyat Bone bahwa penguasa beikutnya adalah We Banrigau
Daeng Marowa MakkaleppiE anaknya dari isteri keduanya We Tenri Roppo Arung
Paccing.
Inilah untuk pertama kalinya Kerajaan Bone dipimpin oleh seorang
perempuan. We Banrigau Daeng Marowa Makkaleppie’ naik takhta menggantikan
ayahnya Arumpone La Saliyu Karampelua. We Banrigau digelari pula Bissu
Lalempili. (Makkulau, 2009). Di masa pemerintahan Arumpone I Benri Gau Daeng
Marowa Arung Matajang, Kerajaan Bone mencapai stabilitas dalam negeri yang
mantap serta pertanian yang berhasil. Raja perempuan pertama Kerajaan Bone
(1470 – 1489) ini tidak meneruskan pendahulunya dalam perluasan wilayah
kekuasaan tetapi aktif dalam upaya mengintensifkan perluasan lahan pertanian.
“Membeli bulu’ (gunung) Cina dengan menukarnya 90 ekor kerbau, dan sawah di
sekitar Kampung Laliddong dengan menukarnya 30 ekor kerbau”.
Akan tetapi terjadi pemberontakan pada masa pemerintahannya, yang
dilakukan oleh La Dati Arung Katumpi karena persoalan pelaksanaan pembelian
areal persawahan, namun pemberontakan tidak berlansung lama, karena beliau
dapat mengatasinya. Dan setelah memerintah selama 20 tahun lamanya, ia kemudian
menyerahkan kekuasan kepada putranya La Tenrisukki. Setelah pelantikan ia pun
meninggalkan Kerajaan Bone bersama keluarganya dan pergi menetap di Cina
bersama keluarganya hingga ia menghilang dan diberilah ia gelar Mallajang ri
Cina.
Pada masa pemerintahan Raja Bone V, La Tenrisukki sebagai pewaris
takhta dari ibunya, I Benriwa Gau. La Tenrisukki merupakan Arumpone (Raja Bone)
pertama yang disebutkan memiliki hubungan dengan kerajaan besar lain di
Sulawesi Selatan. Arumpone ini memerintah di akhir Abad XV sampai permulaan
Abad XVI. Di masa kekuasaannya, La Tenrisukki berhasil memukul mundur serangan
militer Pajung Luwu, Dewaraja Batara Lattu. Setelah perang selesai (Perang itu
dikenal dengan ”Perang Cellu”, karena Angkatan Perang Luwu berlabuh di Cellu
sebelum menyerang Bone. Perang Cellu dimenangkan oleh passiuno Bone.
Paska Perang Cellu, Arumpone mengadakan perjanjian dengan Datu Luwu
To Serangeng Dewaraja yang disebut Polo Malelae’ ri Unnyi (Gencatan senjata di
Unnyi), karena terjadi di Kampung Unnyi. Usai Perjanjian Polo MalelaE ri Unnyi
ini, kedua raja ini, Arumpone dan Datu Luwu kemudian kembali ke negerinya.
Keseluruhan substansi perjanjian Unnyi tersebut tidak mengandung unsur yang
menetapkan tentang pembayaran kerugian perang dari pihak Luwu (yang kalah
perang) kepada pihak Bone (yang menang perang). Dengan demikian perjanjian
perdamaian tersebut menyimpang dari kelaziman perjanjian gencatan senjata, yang
pada umumnya menetapkan sanksi kerugian perang yang harus dibayar oleh negara
agresor yang kalah perang. Hal ini menunjukkan pendekatan kekeluargaan Arung
Mangkaue La Tenrisukki kepada Datu Luwu, Dewaraja.
Berdasarkan substansi materi perjanjian tersebut, dapat disimpulkan
bahwa pada hakekatnya Perjanjian Uunyi adalah perjanjian persekutuan antara
Bone dan Luwu. Persekutuan semacam ini, baru untuk pertama kalinya terjadi
dalam Sejarah Kerajaan Bone. Arti strategis Polo Malelae ri Unnyi bagi Bone,
adalah suatu sukses di bidang politik dan militer. Dengan peristiwa tersebut
menampatkan Bone dalam posisi strategis dan prestise yang kuat terhadap
kerajaan – kerajaan kecil di sekitar Kerajaan Bone bahkan juga kerajaan –
kerajaan lainnya di kawasan Sulawesi Selatan.
Setelah itu beliau juga menghadapi pemberontakan dari orang-orang
Mampu – salah satu kerajaan di sekitar kerajaan Bone. Namun, sekali lagi
pemberontakan tersebut dapat diselesaikan oleh La tenri Sukki. Setelah beliau
memerintah kurang lebih 27 tahun lamanya ia pun wafat. Dan sebagi penggantinya
ditunjuklah puteranya La Uliyo BoteE hasil perkawinanya dengan sepupunya We
Tenri Songke sebagai Raja Bone VI. Digelari Bote’E karena Arumpone ini memiliki
postur tubuh yang subur (gempal).
Di masa pemerintahan La Uliyo Bote’E, Luwu kembali menyerang Bone
dan sekali lagi dikalahkan. Bone kemudian memperoleh bantuan Gowa untuk
memerangi sekutu utama Luwu dan Wajo, namun persekutuan itu merupakan campur tangan
tidak biasa bagi Gowa dalam usahanya untuk merebut hegemoni disebelah timur
semenanjung, belakangan Gowa memang mengundurkan diri dan berkonsentrasi untuk
mencapai harapannya di semenanjung barat Sulawesi Selatan. Pada masa
pemerintahannya pulalah Bone mulai dilirik oleh Gowa.
Arumpone inilah yang pertama didampingi oleh Kajao Laliddong[7]. Dia
pulalah yang mengadakan perjanjian dengan KaraengE ri Gowa Daeng Matanre
Karaeng Tumapakrisika Kallonna. Peristiwa peresmian hubungan diplomatik pertama
antara Bone dengan Gowa, diupacarakan dengan pergelaran senjata sakti kedua
kerajaan, ”Sitettongenna SudengngE – Lateya Riduni” di Tamalate. Kunjungan Raja
Gowa secara formal dalam kunjungan kenegaraan, dan berhasil membentuk hubungan
persahabatan bilateral antara Gowa dengan Bone. Dengan upacara khidmat
memperhadapkan senjata kebesaran Kerajaan Bone dan senjata kebesaran Kerajaan
Gowa di Laccokang, Watampone, ibukota Kerajaan Bone (1538).
Setahun kemudian, Raja Bone, La Uliyo Bote’e melakukan pula
kunjungan balasan ke Gowa dan berhasil membentuk dual alliance antara Bone
dengan Gowa yang disebut, “Ulu Adae ri Tamalate” (Perjanjian Tamalate).
Perjanjian tersebut berisikan bahwa Bone dan Gowa bersepakat untuk saling
memberikan bantuan militer bilamana ada di antara mereka dalam keadaan bahaya
ancaman militer. Ini merupakan sukses di bidang politik di masa kekuasaan La
Uliyo Bote’e. Setelah genap 25 tahun sebagai Arung Mangkaue’ ri Bone
ditunjuklah La Tenri Rawe BongkangE sebagai Raja Bone VII.
Perjanjian Tellumpoccoe
Perjanjian Tellumpoccoe adalah perjanjian yang melibatkan tiga
kerajaan Bugis yaitu Bone, Soppeng dan Wajo. Perjanjian ini bermula atas
keinginan mempersaudarakan ketiga kerajaan tersebut. Juga demi menentang agresi
dari Kerajaan Gowa yang merupakan penguasa adidaya pada masa itu.
Sebelum perjanjian ini bermula, pada masa La Tenri Rawe BongkangE
yang naik takhta sebagai Raja Bone VII menggantikan ayahnya La Uliyo Bote’E,
Raja Bone VI, telah terjadi beberapa kali serangan dari Kerajaan Gowa yang pada
mulanya disebabkan karena penggabungan TellulimpoE (tiga wilayah) memasukkan
Bone sebagai anggota yakni Luwu, Gowa dan Bone.
Ketika terjadi pertempuran antara Gowa dan Bone, Wajo sebagai sekutu
Gowa ikut serta dalam pertempuran melawan Bone, setelah tiga hari lamanya
pertempuran itu berlangsung pasukan Bone terdesak, namun semangat pasukan Bone
bangkit mengadakan penyerangan dan akhirnya pasukan Kerajaan Gowa dan Wajo
terpukul mundur.
Setelah itu Gowa kembali melakukan penyerangan, bersama dengan Raja
Gowa Tonibata yang sebelumnya sakit, akan tetapi ia tewas setelah kepalanya
dipancung oleh pasukan Bone. Lalu, Kajao lalidong mewakili Bone dan Karaeng
Tallo mewakili Gowa mengaddakan pertemuan yang menghasilkan perjanjian “Ceppae
ri Caleppa” berisi tentang batas wilayah kedua kerajaan di Selatan (Sungai
Tangka).
Raja Gowa Karaeng Bonto Langkasa memeberi perintah kepada Arung
Matoa Wajo sebagai Abdi Gowa untuk mengangkut kayu dari pegunungan Barru ke
pinggir laut untuk dipergunakan mendirikan istanan di Tamalate sebagai ibukota
Kerajaan Gowa.
Namun Arung Matoa Wajo merasa tidak senang karena diperlakukan
sewenang-wenang, maka hal tersebut disampaikan kepada Raja Bone. Setelah
mengetahui hal tersebut Raja Bone merasa tidak senang, dan ia pun mengajak
Arung Matoa dan Datu Soppeng untuk bersama-sama ke Barru.
Sesampainya disana Raja Gowa heran karena yang ia panggil hanya Raja
Wajo, akan tetapi Raja Bone dan Raja Soppeng juga ikut. Tetapi, Raja Bone
menjawab bahwa “Orang Wajo takut melewati daerah yang tidak didiami manusia”. Kemudian
Raja Bone, Soppeng dan Wajo sama –sama memotong tali pengikat kayu – kayu itu
secara bergantian dengan menyanyikan lagu yang intinya sesama kerajaan yang
terintimidasi menginginkan adanya perlawanan dengan menyatukan kekuatan.
Setelah kejadian itu, mereka bermusyawarah untuk menyerang Cenrana
tujuh hari akan datang. Pada hari yang ditentukan mereka pun menyerang dan
membakar Cendrana yang mana merupakan wilayah kekuasaan Gowa pada waktu itu.
Lalu mereka sepakat kembali ke Timurung untuk mempererat persaudaraan mereka
dalam menghadapi serangan-serangan dari Kerajaan Gowa.
Di Timurung mereka bertemu kembali dan mengadakan perjanjian
persaudraan yang kemudian disebut dengan TellumpoccoE (tiga puncak) dengan
bersama-sama menanamkan batu sebagai simbol persaudaraan di Timurung
(Lamumpatue ri Timurung) pada tahun 1582 M.
Dalam proses perjalanannya Raja Gowa yang mengetahui hal ini marah
dan selalu melancarkan serangan terhdapa sekutunya (Wajo) yang berkhianat. Dua
tahun setelah perjanjian TellumpoccoE diadakan, La tenri Rawe meninggal karena
penyakit yang dideritanya. Sebagai penggantinya ialah saudaranya La Inca, yang
ditunjuk sebagai Raja Bone ke VIII. Pada tahun 1585 terjadilah perang antara
Bone dan Gowa dalam memperebutkan kekuasaan. Kepemimpina La Inca, tidak sebaik
saudaranya, pemberontakan terjadi dimana-mana hingga ia akhirnya mati diatas
tangga istana setelah menjabat selama 11 tahun lamanya. Sesuai anjuran Arung
Majang, maka ditunjuklah La Pattawettu menggantikan La Inca sebagai Arumpone XI.
Pada masa La Pattawettu tidak terlalu banyak disebut pemerintahannya, juga
tidak diberitakan adanya serangan militer Gowa ke Bone. Hanya dikatakan bahwa
setelah tujuh tahun menjadi Mangkau’ di Bone, ia pergi ke Bulukumba dan di
situlah beliau sakit pada tahun 1602. Takhta raja pun diserahkan pada
puterinya, We Tenri Tuppu (1602-1611) yang mengendalikan kerajaan Bone selama 9
tahun lamanya.
Pada tahun 1607, Raja Gowa mengirimkan armada perangnya untuk
menyerang daerah-daerah bugis. Namum Tellumpoccoe berhasil mencegatnya dan
terjadilah perang selama tiga yang dimenangkan oleh Tellumpoccoe. Selang tiga
bulan, pasukan gabungan Tellupoccoe melancarkan serangan di Akkotengeng. Dan
sekali lagi, Kerajaan Gowayang dibantu oleh sekutunya mengalami kekalahan.
Enam bulan setelahnya, Kerajaan Gowa tidak kehilangan semngatnya.
Mereka memperkuat sekutu dan membuat benteng di daerah Rappeng, namun berselang
tiga hari Raja Gowa meninggalkan benteng lalu kembali ke Makassar. Melihat hal
tersbut, pasukan gabungan Tellumpoccoe mengepung dan menyerang sisi pertahanan
Kerajaan Gowa di Rappang, namun pasukan gabungan Tellumpoccoe terdesak mundur
dan mereka kembali ke negerinya masing-masing.
Mundurnya pasukan Tellumpoccoe merupakan gambaran bagi Kerajaan Gowa
bahwa tidak terkoordinirnya pasukan Tellumpoccoe. Maka Raja Gowa terus
meningkatkan pasukannya untuk penyerangan selanjutnya.
Lima bulan setelah itu, Raja Gowa melanjutkan ekspansinya dengan
menyerang Kerajaan Soppeng, lalu dilanjutkan dengan serangan terhadap kerajaan
Wajo, setelah itu dilanjutkan dengan serang terhadap kerajaan Bone. Dengan
semuanya berakhir pada kemenangan di Kerajaan Gowa.
Islamisasi Bone
Proses Islamisasi di Bone tidak terlepas dari proses Islamisasi pada
Kerajaan Gowa. Yang mana proses Islamisasi Kerajaan Gowa, dilakukan oleh Datu
ri Bandang. Setelah Islamnya Kerajaan Gowa, penyebaran Islam pun dimulai.
Sultan Alauddin melakukan penyebaran-penyebaran Islam secara damai.
Pertama-tama ia lakukan dakwah Islam terhadap kerajaan-kerajaan tetangga.
Alasan beliau berdasarkan perjanjian yang berbunyi “... bahwa barangsiapa
menemukan jalan yang lebih baik, maka ia berjanji akan memberitahukan kepada
raja-raja sekutunya”.
Akan tetapi jalan damai tidak berlaku bagi Bone. Dalam hal ini Bone
bersama sekutunya tidak mempercayai penyebaran Islam yang dilakukan kerajaan
Gowa tidak berdasarkan ketulusan melainkan bersifat politis. Alasan tersbut
beralasan, karena dalam sejarah sebelum masuknya Islam telah tejadi
benturan-benturan terhadap kedua kerajaan. Menurut mereka ini adalah siasat
Gowa untuk menguasai mereka.
Akhirnya terjadilah Perang yang dikenal dengan musu sellenge atau
perang peng-Islaman. Seperti telah dituliskan sebelumnya telah terjadi perang
pada tahun 1607-1611. Yang berangsur-angsur memaksa Soppeng memeluk Islam pada
tahun 1609 M, Wajo pada tahun 1610 M dan Bone pada tahun 1611 M dengan
perjanjian bahwa pemerintahan kerajaan tetap berada pada tangan mereka.
Islam masuk di Bone pada masa La Tenri Ruwa sebagai Raja Bone XI
pada tahun 1611 M dan ia hanya berkuasa selama 3 bulan. Sebabnya, karena beliau
menerima Islam sebagai agamanya padahal dewan adat Ade Pitue bersama rakyat
menolak ajakan tersebut. Akhirnya beliau meninggalkan Bone, kemudian ke
Makassar mempelajari agama Islam lebih mendalam dan meninggal di Bantaeng.
Perlu diketahui sebelum Sultan Adam Mattindroe ri Bantaeng atau La
Tenri Ruwa memeluk Islam. Sudah ada rakyat Bone juga yang telah memeluk Islam,
bahkan Raja sebelumnya We Tenri Tuppu karena mendengar Sidendreng telah memeluk
Islam ia pun tertarik untuk mempelajarinya dan wafat disana. Sehingga ia digelari
Mattinroe ri Sidendreng.
Setelah dima’zulkannya La Tenrirua dan diangkat penggantinya La
Tenripale Arung Timurung dalam tahun 1611. Arumpone La Tenri Pale To Akkeppeang
Arung Timurung (1611 – 1625), adalah anak dari La Inca MatinroE ri Addenenna.
Inilah Mangkaue’ yang membangkitkan kembali semangat orang Bone menolak Islam,
yang menurut pemahamannya adalah pintu masuk Gowa mau menjajah Bone.
Akan tetapi, rakyat Bone dibawah Arumpone La Tenri Pale tak dapat
berbuat banyak digempur dengan pasukan besar Gowa, segera setelah itu Bone
resmi menjadi daerah takluk Gowa dan secara formal pula Bone memeluk Agama
Islam (1611). Seluruh Arung Palili (Raja negeri bawahan Bone) diundang untuk
mengucapkan syahadat tanda masuk Islam. Fakta tersebut menunjukkan bahwa Islam
masuk di Bone melalui tekanan militer Gowa.
Setahun setelah orang Bone menerima Islam, Arumpone La Tenri Pale ke
Tallo (Makassar) menemui Dato’ ri Bandang. Diberilah nama Islam, Sultan
Abdullah dan diumumkan pemberian nama itu dalam suatu khutbah Jum’at. Selama
masa pemerintahan La Tenripale Towakkapeyang (1611-1631), penaklukan Gowa atas
Bone tidak terlalu membawa penderitaan bagi rakyat Bone, karena hubungannya
dengan Sultan Alauddin terjalin dengan baik.
Lalu pada masa La Maddaremmeng (1625 – 1640) yang menggantikan
pamannya La Tenripale Toakkeppeang Matinroe’ ri Tallo menjadi Arumpone XIII. La
Maddaremmeng mengamalkan Islam lebih ketat dibanding kerajaan lain termasuk
Gowa-Tallo, di antara gebrakannya yang terkenal adalah menghapus sistem
perbudakan Ata, karena manusia dilahirkan tidak untuk diperbudak; juga
menghukum berat para penyembah berhala atau mensakralkan tempat dan benda-benda
tertentu; pelaku zina; pencurian; miras, dan berbagai bentuk kemungkaran
lainnya. Inilah sejarah awal penerapan syariat Islam secara formal. Maka
terjadilah perlawanan dari para bangsawan Bone bahkan perlawanan tersebut
dipimpin langsung oleh Ibu La Maddaremmeng sendiri yaitu Datu Pattiro we
Tenrisolorengbeliau menolak ajaran Islam versi anaknya karena diangganya keras
dan tidak toleran, ibunya lebih tertarik dengan ajaran Islam versi kerajaan
Gowa-Tallo karena lebih sufistik dan klop dengan ajaran kepercayaan pra-Islam
di Bone.
Tercatat dalam Sejarah Bone tentang kepatuhan La Maddaremmeng dalam
menjalankan ajaran Islam dan mengimplementasikannya dalam pemerintahannya.
Bahkan diusahakan pula agar kerajaan tetanggnya seperti Soppeng, Wajo dan
Ajattapareng menirunya, khususnya dalam memerdekakan hamba sahaya, kecuali yang
memang budak turun temurun, sedang mereka inipun harus diperlakukan manusiawi.
Baginda bertindak keras tanpa pandang bulu terhadap siapapun yang melanggar
kebijaksanaannya. Meski begitu, tak sedikit pula bangsawan dalam Kerajaan Bone
sendiri yang menentang penghapusan perbudakan.
Dengan dalih menciptakan stabilitas keamanan dalam negeri Bone dan
penentangan terhadap penghapusan perbudakan, Gowa dibawah pemerintahan
Karaenge’, Sultan Malikus Said kembali menyerang Bone (1644). Ini berarti Gowa
sendiri tidak mau dan tidak menyetujui penghapusan perbudakan. La Maddaremmeng
menghadapi perang tersebut dengan dibantu saudaranya, La Tenriaji Tosenrima,
namun serangan Gowa secara besar – besaran tersebut tak dapat ditahan pasukan
Bone, Arumpone akhirnya menyingkir ke daerah Larompong. Di Cimpu, Arumpone
ditawan lalu dibawa ke Gowa, diasingkan di suatu kampung bernama Sanrangang
(1644). Rakyat dan Hadat Bone akhirnya mengangkat La Tenriaji To Senrima
sebagai Arumpone untuk melanjutkan perjuangan melawan Gowa. La Maddaremmeng
dikembalikan ke Bukaka dan disanalah Arumpone ini meninggal, hingga digelari
Matinroe ri Bukaka.
Arung Palakka dan
Kolonial
Berbicara mengenai Kerajaan Bone, tidak sah rasanya tanpa membahas
Arung Palakka. La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na Petta To RisompaE
(1667 - 1696) adalah Raja Bone XV dicap pemerintah sebagai pengkhianat. Oleh
sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan yang tak memahami sejarah yang
sebenarnya memang akan mudah tergiring opini Arung Palakka sebagai Pengkhianat
berdasar fakta bahwa Arung Palakka-lah yang bersekutu dengan Belanda menyerang
Kerajaan Gowa. Sejarah itu kemudian terlukis dalam Perang Makassar (1667) dan
menjadi penyebab jatuhnya Kerajaan Gowa sebagai imperium besar di Nusantara
bagian timur.
Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone disebutkan bahwa La Tenri Tatta
Arung Palakka baru berusia 11 tahun, ketika Kerajaan Bone dibawah kepemimpinan
La Tenri Ruwa diserang dan dikalahkan oleh Kerajaan Gowa (1611) di masa
kekuasaaan I Mangerangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin. Orang tuanya La
Pottobune ditangkap dan ditawan bersama Arumpone La Tenri Ruwa serta bangsawan
Bone lainnya. Penaklukan Bone oleh Gowa tersebut dikenal dalam sejarah bernama
Musu’ Pasempe (Perang di Pasempe). Paska Perang inilah, rakyat Bone bersama
raja dan bangsawannya digiring ke Gowa, dijadikan tenaga kerja paksa dalam
membangun Benteng - benteng Makassar.
Singkat cerita, La Tenri Tatta Arung Palakka dan semua bangsawan
Bugis Bone Soppeng merasakan siri’ yang luar biasa, rasa malu dan harga dirinya
tercabik - cabik diperlakukan tak berperikemanusiaan. Arung Palakka
menggabungkan diri dan bekerja juga sebagai penggali parit dan pembuat
benteng.[17] Ia ikut merasakan bagaimana penderitaan bangsanya disiksa oleh
punggawa dan bangsawan Gowa yang mengawasi pekerjaan itu. Ayah Arung Palakka,
La Pottobune’ meninggal di Gowa paska diadakannya perburuan rusa di Tallo oleh
Karaeng Gowa dan para pengawalnya. La Pottobune’ Datu Lompulle mengamuk karena
membela dua pelarian kerja paksa bangsanya yang tidak tahan dilihatnya disiksa
dan dipukuli. Dalam lontaraq disebut bahwa sejak kejadian itu, La Tenri Tatta
Daeng Serang Arung Palakka tidak bisa lagi tidur. Setiap saat yang
dipikirkannya adalah bagaimana menegakkan kembali kebesaran Tanah Bone.
Kisah selanjutnya, dalam Lontaraq Bone disebutkan bagaimana kisah
Arung Palakka melarikan diri bersama bangsawan bugis Bone Soppeng lainnya dari
barak - barak kerja paksa, terjadinya pengejaran terhadap dirinya,
perjalanannya ke kerabatnya Bangsawan Bone Soppeng dalam meminta dukungan,
sumpah Arung Palakka ketika akan menyeberang dari Tanah Bugis ke Tanah Buton
(1660). Dan dari Buton, perjalanannya diteruskan ke Batavia (1663) untuk
mencari sekutu dalam memerangi Gowa. Ketika Arung Palakka menawarkan
persekutuan kepada Belanda, Belanda sempat ragu namun setelah melihat sendiri
kehebatan Arung Palakka dan pasukan pelariannya dalam Perang Pariaman di
Sumatera Barat maka yakinlah Belanda akan dapat memenangkan pertempuran melawan
Gowa dengan bantuan pasukan Bugis. Kerajaan Gowa sendiri ketika itu telah
menjadi negara yang modernis, sebagai imperium besar di Nusantara Bagian Timur
dengan pasukan militer darat dan laut yang tangguh.
Dalam sejarah kemudian dikenal, terjadi Perang Makassar (1667) yang
menjadi malapetaka runtuhnya dinasti Kesultanan Gowa. Posisi Arung Palakka
selanjutnya dipertanyakan banyak sejarawan, namun seiring dengan semakin
membaiknya pemahaman masyarakat akan sejarah dalam konteks sejarah lokal, dapat
dipahami alasan Arung Palakka memerangi Gowa. Sejarawan asal Amerika, Dr
Leonard Y Andaya dalam buku “Warisan Arung Palakka - Sejarah Sulawesi Selatan
Abad XVII” mengurai betapa terkunkungnya dominasi Belanda menguasai daratan
Sulawesi Selatan selama Arung Palakka masih hidup dan menjadi penguasa atasan
atas semua negeri taklukan paska Perjanjian Bungaya (1668).
Sepeninggalnya, Arung Palakka telah meletakkan dasar - dasar
hegemoni politik dengan cara mengawinkan mawinkan kemenakannya, La Patau
Matanna Tikka dengan Gowa dan Luwu, yang diangkatnya menjadi Raja Bone XVI.
Arung Palakka pun kini di mata masyarakat Bugis, khususnya Bone - Soppeng
dijuluki sebagai “Sang Pembebas”, bukan sebagai pengkhianat. Andi Sultan Kasim
(2002) menyebut julukan tersebut adalah hal yang pantas, karena ketika itu Bone
adalah sebuah negara (kerajaan) yang merdeka dan berdaulat, sama halnya dengan
Gowa, wajar jika seorang Arung Palakka menuntut dan memperjuangkan kemerdekaan
atas bangsanya.
Runtuhnya Kerajaan
Bone
Sejak runtuhnya Kerajaan Gowa pasca munculnya Perjanjian Bongaya,
Kerajaan Bone bangkit menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh
paling besar. Hingga awal XX, Kerajaan Bone memainkan peran penting dalam
sejarah politik di Sulawesi Selatan.
Pada abad XIX Kerajaan Bone menjadi saingan Belanda dalam memperluas
kekuasaan dalam bidang ekonomi dan politik. Akibatnya, kedua penguasa ini
pernah terlibat dalam perang besar. Dalam sejarah daerah ini, perang itu
terjadi pada tahun 1824-1825 yang bermula setelah Sultan Bone meninggal pada
tahun 1823, dan digantikan oleh saudarinya Aru Datu (bergelar I-Maneng Paduka
Sri Ratu Sultana Salima Rajiat ud-din), pemerintah kesultanan mencoba merevisi
Perjanjian Bongaya, beserta semua anggota persekutuan itu, yang jatuh atas
pemerintahan itu, hukum yang sama harus diberlakukan. Antara tanggal 8 Maret
sampai 21 September 1824, GubJend. G.A.G.Ph. van der Capellen mengadakan
lawatan ke Sulawesi dan Kepulauan Maluku; semua penguasa datang memberikan
penghormatan (juga perwakilan Ratu Bone), kecuali penguasa Suppa dan Tanete.
Van der Capellen berharap bahwa perundingan dengan negara-negara tersebut tidak
akan membawa keuntungan apapun; sekembalinya ke Batavia, sebuah ekspedisi
dipersiapkan dan sekitar 500 prajurit diberangkatkan dengan membawa 4 meriam, 2
howitzer, beserta 600 prajurit pembantu pribumi untuk menghukum Bone.
Sultan yang kini terguling lari ke pedalaman dan penduduk tetap
melancarkan serangan atas Belanda namun masalah di Tanete cepat dibereskan
dengan baik. Meskipun Suppa masih kuat; Letkol. Reeder melancarkan serangan
bersama 240 prajurit yang dipersenjatai sejumlah moncong senjata; pada tanggal
14 Agustus serangan diperbaharui: orang Bugis membiarkan pasukan Belanda
mendekat tanpa ancaman apapun hingga di kaki sebuah bukit dan barulah mereka
melancarkan serangan; setelah kehilangan sepertiga pasukannya, Belanda harus
mundur. De Stuers menyerbu bersama komisaris pemerintahan Tobias ke Suppa dan
makin mendekat; pada pagi hari tanggal 30 Agustus, operasi itu berhasil
diselesaikan, setelah tembakan meriam peringatan ke benting musuh, namun
kekuatan yang dibawa De Stuers tak cukup kuat. Dengan korban tewas sebanyak 14
jiwa dan 60 korban luka-luka, pasukan Belanda harus kembali dan harus
melancarkan ekspedisi lain.
Lalu berturut-turut perang terjadi pada tahun1859-1860 dan perang
yang terjadi pada tahun 1859-1860. Hingga Serangan yang dilancarkan pemerintah
Kolonial pada tahun1905 yang menandai berakhirnya Kerajaan Bone pada masa La
Pawawoi Karaeng Segeri.
Sekali lagi Pemerintah Kolonial ingin meneggakkan supremasinya
terhadap seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Kolonial Belanda menganggap Bone
telah melanggar perjanjian sebelumnya bahwa Bone tidak boleh memperluas wilayah
kekuasaanya, hingga munculnya bukti invasi militer Bone di Tana Toraja dan Wajo
1897-1900. Gubernur Hindia Belenda Baroon van Hoevell mengeluarkan surat
perintah penghapusan penguasa pribumi Bone pada Maret 1903.
Akhirnya pada Julli 1905 dilancarkanlah serangan terhdapa Kerajaan
Bone oleh Belanda melalui pelabuhan Bajoe. Dengan berakhir pada kemenangan
Belanda. Akan tetapi, Karaeng Segeri mengusngsi menuju pedalaman, untuk
mengumpulkan pasukan dan menyemangati para pejuang yang tersisa.
Sementara pengejaran terhadap La pawawoi terus dilakukan,
Tomarilalang bersama lima anggota Dewan Adat Bone menyatakan tunduk terhadap
Belanda. Ditambah semakin terdesaknya para pejuang Bone hampir disetiap
pertempuran dan kematian Panglima tertinggi perang Kerajaan Bone Petta
Ponggawae Baso Pangilingi Abdul Hamid. Perang pun berakhir, Raja Bone La
pawawoi sudah tidak memiliki daya lagi untuk mempertahanya pada kerajaan. Ia
pun akhirnya harus ditahan, dan diputuskan dikirm ke Bandung, dimana ia
kemudian mengehmbuskan nafas terkhirnya pada Januari 1911.
C. Kerajaan Wajo
Kerajaan
Wajo
adalah sebuah kerajaan yang didirikan sekitar tahun 1399,
di wilayah yang menjadi Kabupaten
Wajo
saat ini di Sulawesi Selatan.
Penguasanya disebut "Raja Wajo". Wajo adalah kelanjutan dari kerajaan
sebelumnya yaitu Cinnotabi.
Ada tradisi lisan yakni pau-pau
rikadong dianggap sebagai kisah terbentuknya Wajo, yaitu putri dari Luwu, We
Tadampali yang mengidap sakit kulit kemudian diasingkan dan terdampar di
Tosora. Selanjutnya dia bertemu dengan putra Arumpone Bone
yang sedang berburu. Akhirnya mereka menikah dan membentuk dinasti di Wajo.
Ada juga tradisi lisan lain yaitu kisah La Banra, seorang pangeran Soppeng
yang merantau ke Sajoanging
dan membuka tanah di Cinnotabi.
Sejarah Awal
Sejarah Wajo berbeda dengan sejarah
kerajaan lain yang umumnya memulai kerajaannya dengan kedatangan To Manurung.
Sejarah awal Wajo
menurut Lontara Sukkuna
Wajo
dimulai dengan pembentukan komunitas dipinggir Danau Lampulung. Disebutkan
bahwa orang-orang dari berbagai daerah, utara, selatan, timur dan barat,
berkumpul dipinggir Danau Lampulung. Mereka dipimpin oleh seseorang yang tidak
diketahui namanya yang digelari dengan Puangnge Ri Lampulung. Puang ri
Lampulung dikenal sebagai orang yang bijak, mengetahui tanda-tanda alam dan
tatacara bertani yang baik. Adapun penamaan danau Lampulung dari kata sipulung
yang berarti berkumpul.
Komunitas Lampulung terus berkembang
dan memperluas wilayahnya hingga ke Saebawi. Setelah Puang ri Lampulung
meninggal, komunitas ini cair. Hingga tiba seseorang yang memiliki kemampuan
sama dengannya, yaitu Puang ri Timpengeng di Boli. Komunitas ini kemudian
hijrah dan berkumpul di Boli. Komunitas Boli terus berkembang hingga
meninggalnya Puang ri Timpengeng.
Setelah itu, putra mahkota kedatuan
Cina dan kerajaan Mampu, yaitu La Paukke datang dan mendirikan kerajaan
Cinnotabi. Adapun urutan Arung Cinnotabi yaitu, La Paukke Arung Cinnotabi I
yang diganti oleh anaknya We Panangngareng Arung Cinnotabi II. We Tenrisui,
putrinya menjadi Arung Cinnotabi III yang diganti oleh putranya La Patiroi
sebagai Arung Cinnotabi IV. Sepeninggal La Patiroi, Adat Cinnotabi mengangkat
La Tenribali dan La Tenritippe sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V. Setelah
itu, Akkarungeng (kerajaan) Cinnotabi bubar. Warga dan adatnya berkumpul di
Boli dan membentuk komunitas baru lagi yang disebut Lipu Tellu Kajuru E.
La Tenritau menguasai wilayah
majauleng, La Tenripekka menguasai wilayah sabbamparu dan La Matareng menguasai
wilayah takkalalla. Ketiganya adalah sepupu satu kali La Tenribali. La
Tenribali sendiri setelah kekosongan Cinnotabi membentuk kerajaan baru disebut
Akkarungeng ri Penrang dan menjadi Arung Penrang pertama. Ketiga sepupunya
kemudian meminta La Tenribali agar bersedia menjadi raja mereka. Melalui
perjanjian Assijancingeng ri Majauleng maka dibentuklah kerajaan Wajo.
La Tenribali diangkat sebagai raja pertama bergelar Batara Wajo. Ketiga
sepupunya bergelar Paddanreng yang menguasai wilayah distrik yang disebut
Limpo. La Tenritau menjadi Paddanreng ri Majauleng, yang kemudian berubah
menjadi Paddanreng Bettempola pertama. La Tenripekka menjadi Paddanreng
Sabbamparu yang kemudian menjadi Paddanreng Talotenreng. Terakhir La Matareng
menjadi Paddanreng ri Takkallala menjadi Paddanreng Tuwa.
Wajo sebagai Kerajaan
Wajo mengalami perubahan struktural
pasca Perjanjian
Lapadeppa yang berisi tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan
orang Wajo. Posisi Batara Wajo yang bersifat monarki absolut diganti menjadi Arung Matowa
yang bersifat monarki konstitusional. Masa keemasan Wajo adalah pada
pemerintahan La
Tadampare Puangrimaggalatung. Wajo menjadi anggota
persekutuan Tellumpoccoe
sebagai saudara tengah bersama Bone
sebagai saudara tua dan Soppeng
sebagai saudara bungsu.
Wajo memeluk Islam secara resmi
pada tahun 1610 pada pemerintahan La Sangkuru
patau mulajaji sultan Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi Qadhi pertama Wajo.
Setelah Dato Sulaiman kembali ke Luwu melanjutkan dakwah yang telah dilakukan
sebelumnya, Dato ri Tiro melanjutkan tugas Dato Sulaiman. Setelah selesai Dato
ri Tiro ke Bulukumba dan meninggal di sana. Wajo terlibat Perang Makassar
(1660-1669) disebabkan karena persoalan geopolitik di dataran tengah Sulawesi
yang tidak stabil dan posisi Arung Matowa La Tenrilai To Sengngeng sebagai
menantu Sultan Hasanuddin.
Kekalahan Gowa tidak menyebabkan La Tenrilai rela untuk menandatangani perjanjian Bungaya,
sehingga Wajo diserang oleh pasukan gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang
juga berpihak ke Sultan Hasanuddin juga diserang. Kekalahan Wajo menyebabkan
banyak masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan membangun komunitas sosial
ekonomi di daerah rantauannya. La Mohang Daeng Mangkona salah satu panglima
perang Wajo yang tidak terima kekalahan merantau ke Kutai dan membuka lahan
yang kini dikenal sebagai Samarinda.
Pada pemerintahan La Salewangeng to
tenrirua Arung Matowa ke 30, ia membangun Wajo pada sisi ekonomi dan militer
dengan cara membentuk koperasi dan melakukan pembelian senjata serta melakukan
pelatihan penggunaan senjata. La Maddukkelleng kemenakan La Salewangeng menjadi
Arung Matowa 31 dilantik di saat perang. Pada zamannya ia memajukan posisi wajo
secara sosial politik di antara kerajaan-kerajaan di sulsel. La Koro Arung
Padali, memodernisasi struktur kerajaan Wajo dengan membentuk jabatan militer
Jenerala (Jendral), Koronele (Kolonel), Manynyoro (Mayor), dan Kapiteng
(Kapten). Dia juga menandatangani Large Veklaring
sebagai pembaruan dari perjanjian Bungaya.
Pada zaman Ishak Manggabarani,
persekutuan [[Wajo]] dengan [[Bone]] membuat keterlibatan Wajo secara tidak
langsung pada Rumpa'na Bone. Saat itu Belanda melancarkan [[politik
pasifikasi]] untuk memaksa semua kerajaan di [[Sulawesi Selatan]] tunduk secara
totalitas. Kekalahan Bone melawan Kompeni juga harus ditanggung oleh [[Wajo]]
sehingga [[Wajo]] harus membayar denda perang pada Kompeni dan menandatangani Korte Veklaring
sebagai pembaruan dari Large Veklaring.
Wajo dibawah Republik Indonesia Serikat,
atau tepatnya Negara Indonesia Timur,
berbentuk swapraja pada tahun 1945-1949. Setelah Konferensi Meja Bundar,
Wajo bersama swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten pada tahun 1957. Antara
tahun 1950-1957 pemerintahan tidak berjalan secara maksimal disebabkan gejolak
pemberontahan DI/TII.
Setelah 1957, pemimpin di Wajo adalah seorang Bupati. Wajo yang dulunya
kerajaan, kemudian menjadi Onderafdeling, selanjutnya Swapraja, dan
akhirnya menjadi kabupaten.
Struktur Kerajaan Wajo
1.
Masa Batara Wajo
ü Batara
Wajo --> Penguasa tertinggi (1 orang)
ü Paddanreng
--> Penguasa wilayah, terdiri dari Bettempola untuk Majauleng, Talotenreng
untuk Sabbamparu dan Tuwa untuk Takkalalla (3 orang)
ü Arung
Mabbicara --> Aparat pemerintah (12) orang
2.
Masa Arung Matoa
ü Arung Matoa --> Penguasa
tertinggi (1 orang)
ü Paddanreng --> Penguasa
wilayah (3 orang)
ü Pabbate Lompo --> Panglima
perang, terdiri dari Pilla, Patola dan Cakkuridi (3 orang)
ü Arung Mabbicara --> Aparat
pemerintah (30 orang)
ü Suro --> Utusan (3 orang)
Kelima
jabatan diatas disebut sebagai Arung PatappuloE, penguasa 40. Jabatan lain yang
tidak masuk Arung PatappuloE:
ü Arung Bettempola --> biasanya
dirangkap Paddanreng Bettempola. Bertugas sebagai ibu orang Wajo. Mengangkat
dan menurunkan Arung Matoa berdasar kesepakatan orang Wajo. Di masa Batara
Wajo, tugas ini dijabat oleh Arung Penrang
ü Punggawa --> Panglima perang
wilayah, bertugas mengantar Arung lili ke pejabat Arung PatappuloE
ü Petta MancijiE --> Staf
keprotokuleran istana
D. Kesultanan Buton
Kesultanan
Buton
terletak di Kepulauan Buton
(Kepulauan Sulawesi Tenggara) Provinsi Sulawesi
Tenggara. Pada zaman dahulu memiliki kerajaan
sendiri yang bernama kerajaan Buton dan berubah menjadi bentuk kesultanan
yang dikenal dengan nama Kesultanan Buton. Nama Pulau Buton dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit,
Patih Gajah
Mada dalam Sumpah Palapa, menyebut nama Pulau Buton.
Sejarah Awal
Mpu Prapanca juga menyebut nama Pulau Buton di dalam
bukunya, Kakawin Nagarakertagama. Sejarah yang umum
diketahui orang, bahwa Kerajaan Bone di Sulawesi lebih
dulu menerima agama Islam
yang dibawa oleh Datuk ri Bandang yang berasal dari Minangkabau
sekitar tahun 1605 M. Sebenarnya Sayid Jamaluddin
al-Kubra lebih dulu sampai di Pulau Buton, yaitu pada
tahun 815 H/1412 M. Ulama tersebut diundang oleh Raja Mulae Sangia i-Gola
dan baginda langsung memeluk agama Islam.
Lebih kurang seratus tahun kemudian, dilanjutkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman
al-Fathani yang dikatakan datang dari Johor. Ia berhasil
mengislamkan Raja Buton yang ke-6
sekitar tahun 948 H/1538 M.
Riwayat lain mengatakan tahun 1564 M. Walau bagaimanapun masih banyak
pertikaian pendapat mengenai tahun kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton. Dalam masa
yang sama dengan kedatangan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman
al-Fathani, diriwayatkan bahwa di Callasusung (Kulisusu), salah sebuah
daerah kekuasaan Kerajaan Buton, didapati semua penduduknya beragama Islam.
Selain pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Johor, ada pula
pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Ternate.
Dipercayai orang-orang Melayu dari berbagai daerah telah lama sampai di Pulau Buton. Mengenainya
dapat dibuktikan bahwa walaupun bahasa yang digunakan dalam Kerajaan Buton ialah bahasa Wolio, namun dalam
masa yang sama digunakan bahasa Melayu, terutama bahasa Melayu yang dipakai di Malaka, Johor dan Patani. Orang-orang
Melayu tinggal
di Pulau Buton. Orang-orang
Buton termasuk
kaum yang pandai belayar seperti orang Bugis juga. Orang-orang
Buton sejak lama
merantau ke seluruh pelosok dunia Melayu dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya
dapat menampung lima orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang
sekitar 150 ton.
Kerajaan
Buton secara
resminya menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa pemerintahan Raja Buton ke-6, yaitu
Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau Halu Oleo.
Bagindalah yang di-Islamkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman
al-Fathani yang datang dari Johor. Menurut beberapa riwayat bahwa Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman
al-Fathani sebelum sampai di Buton pernah tinggal di Johor. Selanjutnya
bersama istrinya pindah ke Adonara (NTT). Kemudian dia sekeluarga berhijrah
pula ke Pulau Batu atas yang termasuk dalam
pemerintahan Buton.
Di Pulau Batu atas, Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman
al-Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali dari Maluku menuju Pasai (Aceh). Imam Pasai menganjurkan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman
al-Fathani pergi ke Pulau Buton, menghadap Raja Buton. Syeikh Abdul Wahid
setuju dengan anjuran yang baik itu. Setelah Raja Buton memeluk Islam, Baginda
langsung ditabalkan menjadi Sultan Buton oleh Syeikh Abdul Wahid pada
tahun 948 H/1538 M.
Mengenai tahun tersebut, masih dipertikaikan karena sumber lain menyebutkan
bahwa Syeikh Abdul Wahid
merantau dari Patani-Johor ke Buton pada tahun 1564 M. Sultan Halu Oleo
dianggap sebagai Sultan
Buton pertama,
bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan gelar yang khusus yaitu Sultan Qaimuddin. Maksud perkataan ini
ialah Kuasa Pendiri Agama Islam.
Dalam
riwayat yang lain menyebut bahawa yang melantik Sultan Buton yang pertama
memeluk Islam, bukan Syeikh Abdul Wahid tetapi guru dia yang sengaja
didatangkan dari Patani. Raja Halu Oleo setelah ditabalkan sebagai Sultan
Kerajaan Islam Buton pertama, dinamakan Sultan Murhum. Ketika diadakan
Simposium Pernaskahan Nusantara Internasional IV, 18 - 20 Julai 2000 di Pekan
Baru, Riau, salah satu kertas kerja membicarakan beberapa aspek tentang Buton,
yang dibentang oleh La Niampe, yang berasal dari Buton. Hasil wawancara saya
kepadanya adalah sebagai berikut:
1.
Syeikh Abdul Wahid pertama kali sampai
di Buton pada tahun 933 H/1526 M.
2.
Syeikh Abdul Wahid sampai ke Buton kali
kedua pada tahun 948 H/1541 M.
3.
Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua
di Buton pada tahun 948 H/1541 M bersama guru dia yang bergelar Imam Fathani.
Ketika itulah terjadi pengislaman beramai-ramai dalam lingkungan Istana
Kesultanan Buton dan sekaligus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton
pertama.
Maklumat lain, kertas kerja Susanto
Zuhdi berjudul Kabanti Kanturuna Mohelana Sebagai Sumber Sejarah Buton,
menyebut bahawa Sultan Murhum, Sultan Buton yang pertama memerintah dalam
lingkungan tahun 1491 M - 1537 M. Menurut Maia Papara Putra dalam bukunya,
Membangun dan Menghidupkan Kembali Falsafah Islam Hakiki Dalam Lembaga
Kitabullah, bahawa “Kesultanan Buton menegakkan syariat Islam ialah tahun 1538
Miladiyah”.
Jika kita bandingkan tahun yang
saya sebutkan (1564 M), dengan tahun yang disebutkan oleh La Niampe (948 H/1541
M) dan tahun yang disebutkan oleh Susanto Zuhdi (1537 M), berarti dalam tahun
948 H/1541 M dan tahun 1564 M, Sultan Murhum tidak menjadi Sultan Buton lagi
karena masa dia telah berakhir pada tahun 1537 M. Setelah meninjau pelbagai
aspek, nampaknya kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton dua kali (tahun 933
H/1526 M dan tahun 948 H/1541 M) yang diberikan oleh La Niampe adalah lebih
meyakinkan.
Yang
menarik pula untuk dibahas ialah keterangan La Niampe yang menyebut bahawa Kedatangan
Syeikh Abdul Wahid yang kedua kali di Buton pada tahun 948 H/1541 M itu bersama
Imam Fathani mengislamkan lingkungan Istana Buton, sekaligus melantik Sultan
Murhum sebagai Sultan Buton yang pertama. Apa sebab Sultan Buton yang
pertama itu dilantik/dinobatkan oleh Imam Fathani? Dan apa pula sebabnya
sehingga Sultan Buton yang pertama itu bernama Sultan Murhum, sedangkan di
Patani terdapat satu kampung bernama Kampung Parit Murhum.
Kampung
Parit Murhum berdekatan dengan Kerisik, iaitu pusat seluruh aktivitas
Kesultanan Fathani Darus Salam pada zaman dahulu.Semua yang tersebut itu sukar
untuk dijawab.Apakah semuanya ini secara kebetulan saja atau pun memang telah
terjalin sejarah antara Patani dan Buton sejak lama, yang memang belum
diketahui oleh para penyelidik.
Namun
walau bagaimanapun jauh sebelum ini telah ada orang yang menulis bahwa ada
hubungan antara Patani dengan Ternate.Dan cukup terkenal legenda bahawa orang
Buton sembahyang Jumaat di Ternate.
Jika
kita bandingkan dengan semua sistem pemerintahan, sama ada yang bercorak Islam
maupun sekular, terdapat perbedaan yang sangat kental dengan pemerintahan Islam
Buton. Kerajaan Islam Buton berdasarkan Martabat Tujuh.Daripada kenyataan ini
dapat diambil kesimpulan bahwa kerajaan Islam Buton lebih mengutamakan ajaran
tasawuf daripada ajaran yang bercorak zahiri.Namun ajaran syariat tidak
diabaikan.
Semua
perundangan ditulis dalam bahasa Walio menggunakan huruf Arab, yang dinamakan
Buru Wolio seperti kerajaan-kerajaan Melayu menggunakan bahasa Melayu tulisan
Melayu/Jawi.Huruf dan bahasa tersebut selain digunakan untuk perundangan, juga
digunakan dalam penulisan salasilah kesultanan, naskhah-naskhah dan
lain-lain.Tulisan tersebut mulai tidak berfungsi lagi menjelang kemerdekaan
Indonesia 1945.
Pemerintahan
Kerajaan Buton berdiri tahun 1332 M. Awal pemerintahan dipimpin
seorang perempuan bergelar Ratu Wa Kaa Kaa. Kemudian raja kedua pun perempuan yaitu
Ratu Bulawambona. Setelah dua raja perempuan, dilanjutkan Raja Bataraguru, Raja
Tuarade, Raja Rajamulae, dan terakhir Raja Murhum.Ketika Buton memeluk agama
Islam, maka Raja Murhum bergelar Sultan Murhum.
Kerajaan Buton didirikan atas kesepakatan 3 kelompok atau rombongan
yang datang secara bergelombang.Gelombang pertama berasal dari kerajaan
Sriwijaya. Kelompok berikutnya berasal dari Kekaisaran Cina dan menetap di
Buton. Kelompok ketiga berasal dari Kerajaan Majapahit. Sistem kekuasaan di
Buton ini bisa dibilang menarik karena konsep kekuasaannya tidak serupa dengan
konsep kekuasaan di kerajaan-kerajaan lain di nusantara. Struktur kekuasaan
kesultanan ditopang dua golongan bangsawan: golongan Kaomu dan Walaka. Wewenang
pemilihan dan pengangkatan sultan berada di tangan golongan Walaka, namun yang
menjadi sultan harus dari golongan Kaomu.Jadi bisa dikatakan kalau seorang raja
dipilih bukan berdasarkan keturunan, tetapi berdasarkan pilihan di antara yang
terbaik.
Kelompok Walaka yang merupakan keturunan dari Si Panjonga memiliki
tugas untuk mengumpulkan bibit-bibit unggul untuk dilatih dan dididik
sedemikian rupa sehingga para calon raja memiliki bekal yang cukup ketika
berkuasa nanti.Berdasarkan penelitian, Ratu Waa Kaa Kaa adalah proyek percobaan
pertama kelompok Walaka ini Selain sistem pemilihan raja yang unik, sistem
pemerintahannya juga bisa dikatakan lebih maju dari jamannya.Sistem
pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton dibagi dalam tiga bentuk kekuasaan. Sara
Pangka sebagai lembaga eksekutif, Sara Gau sebagai lembaga legislatif, dan Sara
Bhitara sebagai lembaga yudikatif. Beberapa ahli berani melakukan klaim kalau
sistem ini sudah muncul seratus tahun sebelum Montesquieu mencetuskan konsep
trias politica Peraturan hukum diterapkan tanpa diskriminasi, berlaku sama bagi
rakyat jelata hingga sultan. Sebagai bukti, dari 38 orang sultan yang pernah
berkuasa di Buton, 12 di antaranya diganjar hukuman karena melanggar sumpah
jabatan.Dan hukumannya termasuk hukuman mati majelis rakyat Kesultanan Buton
adalah lambang demokrasi Kesultanan Buton.di sini dirumuskan berbagai program
kesultanan dan juga tempat untuk melaksanakan proses pemilihan sultan
berdasarkan aspirasi masyarakat Buton.
Pembagian kelompok di majelis yang diatur dalam UU yang disebut
Tutura ini adalah sebagai berikut:
1.
Eksekutif = Sara Pangka
2.
Legislatif = Sara Gau
3.
Yudikatif = Sara Bitara
Ada 114 anggota majelis Sara buton yang terdiri dari 3 fraksi:
1.
Fraksi rakyat = Beranggotakan
30 menteri/bonto ditambah 2 menteri besar yang juga mewakili pemukiman-pemukiman
di wilayah Buton.
2.
Fraksi pemerintahan = Pangka,
Bobato, lakina Kadie yang mewakili pemerintahan.
3.
Fraksi Agama = Diwakili oleh
pejabat lingkungan sarakidina/sarana hukumu yang berkonsentrasi di masjid agung
kesultanan Buton.
Politik
Masa pemerintahan Kerajaan Buton mengalami kemajuan terutama bidang
Politik Pemerintahan dengan bertambah luasnya wilayah kerajaan serta mulai
menjalin hubungan Politik dengan Kerajaan Majapahit, Luwu, Konawe, dan Muna. Demikian
juga bidang ekonomi mulai diberlakukan alat tukar dengan menggunakan uang yang
disebut Kampua (terbuat dari kapas yang dipintal menjadi benang kemudian
ditenun secara tradisional menjadi kain). Memasuki masa Pemerintahan Kesultanan
juga terjadi perkembangan diberbagai aspek kehidupan antara lain bidang politik
dan pemerintahan dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton
yaitu “Murtabat Tujuh” yang di dalamnya mengatur fungsi, tugas dan kedudukan
perangkat kesultanan dalam melaksanakan pemerintahan serta ditetapkannya Sistem
Desentralisasi (otonomi daerah) dengan membentuk 72 Kadie (Wilayah Kecil).
Masyarakat
Masyarakat Buton terdiri dari berbagai suku bangsa. Mereka mampu
mengambil nilai-nilai yang menurut mereka baik untuk diformulasikan menjadi
sebuah adat baru yang dilaksanakan di dalam pemerintahan kerajaan/kesultanan
Buton itu sendiri. Berbagai kelompok adat dan suku bangsa diakui di dalam
masyarakat Buton. Berbagai kebudayaan tersebut diinkorporasikan ke dalam budaya
mereka. Kelompok yang berasal dari Tiongkok diakui dalam adat mereka. Kelompok
yang berasal dari Jawa juga diakui oleh masyarakat Buton. Di sana terdapat Desa
Majapahit, dan dipercaya oleh masyarakat sekitar bahwa para penghuni desa
tersebut memang berasal dari Majapahit. Mereka sampai di sana karena perdagangan
rempah-rempah. Dengan membuat pemukiman di sana, mereka dapat mempermudah akses
dalam memperolah dan memperdagangkan rempah-rempah ke pulau Jawa. Beberapa
peninggalan mereka adalah berupa gamelan yang sangat mirip dengan gamelan yang
terdapat di Jawa.
Imam-imam yang menjabat di dalam dewan agama juga dipercaya
merupakan keturunan Arab. Mereka dengan pengetahuan agamanya diterima oleh
masyarakat Buton dan dipercaya sebagai pemimpin di dalam bidang agama.Berbagai
suku dan adat tersebut mampu bersatu secara baik di dalam kerajaan/kesultanan
Buton. Apabila kita melihat kerajaan/kesultanan lain, perbedaan itu seringkali
memunculkan konflik yang berujung kepada perang saudara, bahkan perang agama.
Sedangkan di Buton sendiri tercatat tidak pernah terjadi perang antara satu
kelompok dengan kelompok lain, terutama bila menyangkut masalah suku dan agama.
Dapat dikatakan bahwa seluruh golongan di buton merupakan
pendatang.Mereka menerapkan sistem yang berdasarkan musyawarah. Para perumus
sistem kekuasaan atau sistem adat di Buton juga berasal dari berbagai kelompok
suku dan agama.Ada yang berasal dari semenanjung Malaysia, Si Tamanajo yang
berasal dari Kerajaan Pagaruyung. Ada pula yang berasal dari Jawa yaitu Sri
Batara dan Raden Jutubun yang merupakan putra dari Jayanegara.
Seluruh golongan tersebut berasal dari kerajaan yang otoriter dan
menerapkan sistem putera mahkota. Hampir semua peralihan kekuasaan tersebut
dilakukan dengan kudeta. Di kerajaan Buton hal tersebut tidak pernah terjadi. Asumsinya,
berdasarkan pengalaman pahit dalam jatuh-bangunnya pemerintahan tersebut, maka
mereka yang berkumpul di tanah Buton tersebut merumuskan suatu sistem yang
mampu melakukan peralihan kekuasaan tanpa harus melalui pahitnya kudeta maupun
perang saudara.
Mereka berkumpul di tanah Buton sejak Gajah Mada mengumumkan sumpah
palapa-nya. Pada masa itu Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran.Begitu juga
Kerajaan Singosari. Seluruh raja-raja dan panglima yang tidak takluk pada
Kerajaan Majapahit akan dijadikan budak. Pilihan mereka adalah dengan melarikan
diri menuju tempat yang aman.Pulau Buton menjadi salah satu lokasi dimana
beberapa pelarian tersebut singgah dan menetap.
Perekonomian
Wilayah kerajaan/kesultanan Buton sangat strategis. Pedagang dari
India, Arab, Eropa maupun Cina lebih memilih untuk melalui jalur selatan
Kalimantan untuk mencapai kepulauan rempah-rempah di Maluku. Bila melalui Utara
Sulawesi dan selatan kepulauan Filipina, para pedagang akan berhadapan dengan
bajak laut yang banyak berkeliaran di sana. Selain itu, angin di selatan
Kalimantan lebih kencang daripada di sebelah utara Sulawesi.Masyarakat Buton
telah menggunakan alat tukar uang yang disebut Kampua. Kampua Sehelai kain
tenun dengan ukuran 17,5 kali 8 sentimeter. Pajak juga telah diterapkan di
negeri ini. Tunggu Weti sebagai penagih pajak di daerah kecil ditingkatkan
statusnya menjadi Bonto Ogena disamping sebagai penanggung jawab dalam
pengurusan pajak dan keuangan juga mempunyai tugas khusus selaku kepala
siolimbona (saat ini hampir sama dengan ketua lembaga legislatif).
Hukum
Hukum dijalankan sangat tegas dengan tidak membedakan baik aparat
pemerintahan maupun masyarakat umum. Hal ini terlihat dari ke 38 orang sultan
yang memerintah di Buton, 12 orang menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar
sumpah jabatan dan satu di antaranya yaitu Sultan ke - VIII Mardan Ali, diadili
dan diputuskan untuk dihukum mati dengan cara leher dililit dengan tali sampai
meninggal yang dalam Bahasa Wolio dikenal dengan istilah digogoli.
Bahasa
Etnik/Suku Buton sebutan bagi masyarakat yang berasal dari Kerajaan
dan Kesultanan Buton, memiliki sejumlah bahasa yang berbeda tiap wilayah.
Secara umum, setidaknya ada 4 bahasa yg digunakan oleh 4 kelompok/etnik
masyarakat yakni Bahasa Pancana, Bahasa Cia-Cia, Bahasa Pulo (Wakatobi), dan
Bahasa Moronene. Selain 4 bahasa tersebut masih terdapat pula beberapa bahasa
yang digunakan oleh kelompok masyarakat yang lebih kecil, seperti bahasa
Laompo/Batauga, Bahasa Barangka/Kapontori, Bahasa Wabula, Bahasa Lasalimu,
Bahasa Kolencusu, Bahasa Katobengke dan sebagai bahasa pemersatu digunakan
Bahasa Wolio. Bahasa Wolio ini merupakan bahasa resmi kesultanan.
Pertahanan
Bidang Pertahanan Keamanan ditetapkannya Sistem Pertahanan Rakyat
Semesta dengan falsafah
perjuangan yaitu :
ü
“Yinda Yindamo Arata somanamo Karo” (Harta
rela dikorbankan demi keselamatan diri)
ü
“Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu” (Diri rela
dikorbankan demi keselamatan negeri)
ü
“Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara” (Negeri
rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)
ü
“Yinda Yindamo Sara somanamo Agama” (Pemerintah
rela dikorbankan demi keselamatan agama)
Disamping itu juga dibentuk sistem pertahanan berlapis yaitu empat Barata (Wuna, Tiworo, Kulisusu dan
Kaledupa), empat matana sorumba
(Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka) serta empat orang Bhisa
Patamiana (pertahanan kebatinan).
Selain bentuk pertahanan tersebut maka oleh pemerintah kesultanan,
juga mulai membangun benteng dan kubu–kubu pertahanan dalam rangka melindungi
keutuhan masyarakat
dan pemerintah
dari segala gangguan dan ancaman. Kejayaan masa Kerajaan/Kesultanan
Buton (sejak berdiri tahun 1332 dan berakhir tahun 1960) berlangsung ± 600
tahun lamanya telah banyak meninggalkan warisan masa lalu yang sangat gemilang,
sampai saat ini masih dapat kita saksikan berupa peninggalan sejarah, budaya dan arkeologi. Wilayah
bekas Kesultanan Buton telah berdiri beberapa daerah kabupaten dan kota
yaitu : Kabupaten Buton, Kabupaten
Muna, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Konawe Kepulauan, Kabupaten
Bombana, Kabupaten Buton Utara, dan Kota
Bau-Bau.
Raja-raja Buton
1.
Raja ke I Wa Kaa Kaa 1311
2.
Raja ke II Bulawambona
3.
Raja ke III bataraguru
4.
Raja ke IV tua rade
5.
Raja ke V Mulae
6.
Raja ke VI Murhum
Sultan-Sultan Buton
2.
Sultan ke-2 La Tumparasi (1545-1552) dengan gelar
Sultan Kaimuddin
3.
Sultan ke-3 La Sangaji (1566-1570) dengan gelar
Sultan Kaimuddin
5.
Sultan ke-5
6.
Sultan ke-6 La Buke
7.
Sultan ke-7
8.
Sultan ke-8
10.
Sultan ke-10 La Simbata (1664-1669) dengan gelar
Sultan Adilil Rakhiya
11.
Sultan ke-11 La Tangkaraja (1669-1680) dengan gelar
Sultan Kaimuddin
12.
Sultan ke-12 La Tumpamana (1680-1689) dengan gelar
Sultan Zainuddin
13.
Sultan ke-13
15.
Sultan ke-15
18.
Sultan ke-18 La Tumparasi (1711-712) dengan gelar Sultan
Muluhiruddin Abdul Rasyid
19.
Sultan ke-19 La Ngkarieri (1712-1750) dengan gelar
Sultan Sakiyuddin Duurul Aalam
20.
Sultan ke-20 La Karambau (1750-1752)Sultan
Himayatuddin Ibnu Sultaani Liyaauddin Ismail
23.
Sultan ke-23 La Karambau (1760-1763)Sultan Himayatuddin
Ibnu Sultaani Liyaauddin Ismail
25.
Sultan ke-25
C. Peninggalan Sejarah Islam di Sulawesi
1.
Batu Pelantikan Raja (Batu Pallantikang)
Batu pelantikan raja (hatu pallantikang) terletak
di sebelah tenggara kompleks makam Tamalate. Dahulu, setiap penguasa baru
Gowa-Tallo di sumpah di atas batu ini (Wolhof dan Abdurrahim, tt : 67). Batu
pallantikang sesungguhnya merupakan batu alami tanpa pembentukan, terdiri dari
satu batu andesit yang diapit 2 batu kapur. Batu andesit merupakan pusat
pemujaan yang tetap disakralkan masyarakat sampai sekarang. Pemujaan penduduk
terhadap batu ini ditandai dengan banyaknya sajian di atas batu ini. Mereka
meyakini bahwa batu tersebut adalah batu dewa dari kayangan yang bertuah.
2.
Mesjid Katangka
Mesjid Katangka didirikan pada tahun 1605 M. Sejak
berdirinya telah mengalami beberapa kali pemugaran. Pemugaran itu
berturut-turut dilakukan oleh: [a] Sultan Mahmud (1818); [b] Kadi Ibrahim
(1921); [c] Haji Mansur Daeng Limpo, Kadi Gowa (1948); dan [d] Andi Baso,
Pabbicarabutta GoWa (1962). Sangat sulit mengidentifikasi bagian paling awal
(asli) bangunan mesjid tertua Kerajaan Gowa ini.
Yang masih menarik adalah ukuran tebal tembok
kurang lebih 90 cm, hiasan sulur-suluran dan bentuk mimbar yang terbuat dari
kayu menyerupai singgasana dengan sandaran tangan. Hiasan makhuk di samarkan
agar tidak tampak realistik. Pada ruang tengah terdapat empat tiang soko guru
yang mendukung konstruksi bertingkat di atasnya. Mimbar dipasang permanen dan
diplaster. Pada pintu masuk dan mihrab terdapat tulisan Arab dalam babasa
Makassar yang menyebutkan pemugaran yang dilakukan Karaeng Katangka pada tahun
1300 Hijriah.
3.
Makam Syekh Yusuf
Kompleks makam ini terletak pada dataran rendah
Lakiung di sebelah barat Mésjid Katangka. Di dalam kompleks ini terdapat 4 buah
cungkup dan sejumlah makam biasa. Makam Syekh Yusuf terdapat di dalam cungkup
terbesar, berbentuk bujur sangkar Pintu masuk terletak di sisi Selatan. Puncak
cungkup berhias keramik. Makam ini merupakan makam kedua. Ketika wafat di
pengasingan, Kaap, tanggal 23 Mei 1699, beliau dimakamkan untuk pertama kalinya
di Faure, Afrika Selatan. Raja Gowa meminta kepada pemerintah Belanda agar
jasad Syekh Yusuf dipulangkan dan dimakamkan di Gowa. Lima tahun sesudah wafat
(1704) baru permintaan tersebut dikabulkan. Jasadnya dibawa pulang bersama
keluarga dengan kapal de Spiegel yang berlayar langsung dan Kaap ke Gowa. Pada
tanggal 6 April 1705, tulang kerangka Syekh Yusuf dimakamkan dengan upacara
adat pemakaman bangsawan di Lakiung. Di atas makamnya dibangun kubah yang
disebut kobbanga oleh orang Makassar.
Makam Syekh Yusuf mempunyai dua nisan tipe
Makassar, terbuat dari batu alam yang permukaannya sangat mengkilap. Hal ini
dapat terjadi karena para peziarah selalu menyiramnya dengan minyak kelapa atau
semacamnya. Sampai sekarang peziarah masih sangat ramai mengunjungi tokoh ulama
(panrita) dan intelektual (tulnangngasseng) yang banyak berperan dalam
perkembangan dan kejayaan kerajaan Gowa-Tallo abad pertengahan.
Dalam lontarak "Riwayakna Tuanta Salamaka ri
Gowa 7, Syekh Yusuf dianggap Nabi Kaidir (Abu Hamid, 1994: 85). la tokoh yang
memiliki keistimewaan, seperti berjalan tanpa berpijak di tanah. Dalam usia
belia ia sudah tamat mempelajari kitab fiqih dan tauhid. Guru tarekat
Naqsabandiayah, Syattariyah, Ba'alaniiyah, dan Qadriyah. Wawasan sufistiknya
tidak pernah menyinggung pertentangan antara Hamzah Fanzuri yang mengembangkan
ajaran Wujudiyah dan Syekh Nuruddin ar-Raniri.
4.
Benteng Tallo
Benteng Tallo terletak di muara sungai Tallo.
Benteng dibangun dengan menggunakan bahan batu bata, batu padas/batu pasir, dan
batu kurang. Luas benteng diperkirakan 2 kilometer. Berdasarkan temuan fondasi
dan susunan benteng yang masih tersisa, tebal dinding banteng diperkirakan
mencapai 260 cm.
Akibat perjanjian Bongaya (1667) benteng
dihancurkan. Sekarang, sisa-sisa benteng dan bekas aktivitas berserakan.
Beberapa bekas fondasi, sudut benteng (bastion) dan batu merah yang tersisa
sering dimanfaatkan penduduk untuk berbagai keperluan darurat, sehingga tidak
tampak lagi bentuk aslinya. Fondasi itu mengelilingi pemukiman dan makam
raja-raja Tallo.
BUKTI-BUKTI
PENINGGALAN SEJARAH ISLAM
Banyak
terdapat bukti-bukti peninggalan sejarah Islam di Sulawesi, dan berikut di
antrara bukti-bukti tersebut:
1.
Dalam catatan
Lontara Bilang tertulis bahwa raja pertama
yang memeluk agama Islam tahun 1603 adalah Kanjeng Matoaya, Raja ke-4
dari Kerajaan Tallo. Penyiar agama Islam di daerah ini berasal dari Demak,
Tuban, dan Gresik. Oleh karena itu Islam masuk melalui Raja dan masyarakat Gowa
Tallo.
2.
Masjid
Hila yaitu
masjid pertama Datuk Tiro di Kabupaten Bulukumba yang didirikan oleh Al-Maulana
Khotib Bungsu atau Datuk Tiro. Setelah Luru Daeng Biasa masuk Islam, maka Datuk
Tiro membuat masjid Hila.
3.
Batu
karang berbentuk bukit karang kecil di tengah pantai Semboang dengan tinggi 15
meter, adalah makam Karaeng Sapo Batu, karena Raja Tiro pertama bernama Karaeng
Raja Daeng Malaja.
4.
Obyek tinggalan arkeologi Islam yang berada di kota
Manado berupa makam tua yang
terdapat di kmpleks pekuburan Islam Tuminting. Secara umum bangunan makam
memiliki tiga unsur yang menjadi kelengkapan satu dengan lainnya, yaitu:
ü Kijing
(jirat), dasar yang berbentuk persegi panjang dengan berbagai bentuk variasi.
ü Nisan, berupa tanda yang terbuat dari
kayu, batu atau logam yang diletakkan di atas kijing. Nisan ada yang
dipasang pada bagian kepala saja, atau
kepala dan kaki.
ü Cungkup, berupa bangunan pelindung
beratap untuk melindungi makam dari hujan.
5.
Benda bersejarah yang berkaitan dengan masuknya
agama Islam di Lembah Palu, Sulawesi Tengah, tidak hanya berupa Al-Qur’an kuno
saja. Ada sejumlah naskah yang hadir di tengah masyarakat lembah Palu bersamaan
dengan masuknya Islam. Naskah tersebut di antaranya berupa naskah Kutika dan Naskah Lontara.
6.
Masjid di
Mangallekana Kabupaten Gowa dan pelaksanaan Islam sebelum abad 16.
mohon maaf sebelumnya,,,saya tinggal tinggal di aceh sekarang,saya keturunan bugis,,mungkin bila saudari mau membantu saya tuk mengetahui lebih dalam sejarah ini,,,gmana cara nya saya bisa menanyakan mengenai tentang seorang putra bugis yang ke aceh????
BalasHapusKAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
BalasHapusKAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.